Minggu, 09 Maret 2014

Renungan Kita


Nenek Renta Penjual Sayur

 "Enggak, Ibu cuma ngaso, berat" senyumnya, cenderung cengengesan.

Sempat bertanya dalam hati kenapa sepedanya kok nggak dinaikin sama si nenek tua, tapi urung setelah melihat kondisi sepeda dan muatannya. Sepeda jengki tua, model sepeda pos dengan palang besi memanjang dari sadel ke stang. Di sisi kanan kiri boncengan belakang tersampir dua keranjang yang penuh dengan muatan sayur, tempe dan ikan. Diboncengan belakang dan sadel terikat rapih dengan plastik berisi segala macem sayur, dan sejenisnya. Di palang besi tergantung beraneka kerupuk dan ikan asin yang di gantung dalam plastik-plastik kecil. Begitu juga di stang kanan kiri, hanya tersisa sedikit ruang di handle stang dan di sadel untuk pegangan.

"Belanjaannya banyak ya bu"

"Enggak, ini jualan ibu. Saya keliling mutar sini jualan sayur." sedikit terkejut mendengarnya, baru pertama kali saya melihat tukang sayur keliling menjual sayur dengan sepeda, bukan dengan gerobak seperti umumnya.

"kenapa ga' pake gerobak bu?"

Terkekeh si ibu, "gerobak kan mahal, ini Ibu aja jualan modalnya sedikit"

"oyah? sehari berapa Ibu belanja"

"yahhh, sehari modal ibu sekitar 200 ribu, kalo habis alhamdullilah ibu bisa untung meskipun tidak banyak" katanya terkekeh lagi. kekeh yang sedikit mengganggu sebenarnya, tapi saya tertarik dengan ceritanya, makanya saya abaikan.

"Kalo nggak habis bagaimana Ibu?"

"Kalo sayur ga' habis, ya Ibu masak sendiri, tapi kalo sudah busuk ya ibu buang, ikan asin sama kerupuk kan bisa awet. Tapi ikan segar sama ayam ini ya harus laku, karena ibu nggak punya kulkas, besok ya harus ganti yang baru"

Jujur terhenyak, karena betapa beresikonya jualan si ibu ini, betapa mungkinnya barang jualannya tidak laku dan membusuk.

"Saya boleh coba dorong bu", si ibu kembali terkekeh, mendengar pertanyaan saya.

"Silahkan, tapi berat lho,,,"

Dengan sigap tangan kiri saya memegang handle stang kiri, dan tangan kanan memegang sadle. Kemudian sepeda saya tegakkan. Seketika semua beban di atas sepeda, berikut tambahan gravitasi akibat jalanan menurun, menyergap otot-otot tangan saya, rasa khawatir menjatuhkan sepeda dan menghancurkan semua isi dagangan, membuat saya hanya mampu memajukan sepeda tidak sampai 1 meter. Kembali saya miringkan sepeda supaya standar bisa menopang. di iringi tawa kekeh si ibu melihat kelakuan saya.

"Si Mas ada-ada saja. Biar ibu saja yang dorong, si Mas mah kerja saja di kantor ..."

Malu mendengar kata-kata si ibu, sering kali saya mengeluh akan situasi kantor, jarak kantor yang jauh, dan lain sebagainya. Sementara di sini saya temui seorang nenek tua, yang mengelilingi jalan dengan kaki, sambil mendorong sepeda penuh muatan yang berat, berjualan sayur di tengah panas dan hujan. Seketika rasa hormat saya timbul.

Ingin saya mengobrol lebih lanjut, terutama tentang keluarga. Karena siapa sih yang tidak tergelitik untuk mendengar cerita keluarga si nenek tua yang berjuang di jalanan seperti itu. Tapi urung saya tanyakan, karena saya tau di balik senyum dan tawanya yang terkekeh, pasti ada pilu dan cerita sedih yang tak perlu di buka.

Akhirnya saya pamit berpisah dan kembali ke kantor. Saat saya merogoh kantong untuk memberi si ibu sedikit, si ibu terkekeh lagi dan geleng-geleng, tangannya menahan.

"Jangan, ibu bukan pengemis, ibu jualan sayuran. Si Mas simpan saja buat istri sama anak Mas dirumah"

Jadi saya berjalan kembali ke kantor dengan mata berkaca-kaca. Sedih dan sekaligus bahagia. Semoga si nenek tua selalu sehat dalam hidupnya,,,, amiin.